Article Detail
JANGAN LELAH MENGAMALKAN PANCASILA
Dalam perjalanan bangsa , Pancasila mengalami pendefinisian yang berbeda-beda dari para pemegang kekuasaan pemerintahan. Pada masa Presiden Soekarno, Pancasila sebagai jati diri bangsa untuk mempersatukan bangsa dalam kemajemukan. "OLEH karena itu, Saudara-saudara, ini permintaan persoonlijk batin saya..., sebenarnya Pancasila ini sudahlah, jangan diperdebatkan lagi. Het heeft zijn nut bewezen, telah terbuktilah guna tepatnya Pancasila."(Pidato Presiden Soekarno, dalam peringatan lahirnya Pancasila, 5 Juli 1958, di Istana Negara Jakarta). Cuplikan pernyataan Presiden Soekarno di atas menggambarkan pecahnya cara pandang sosio-politik masa itu. Sidang-sidang Badan Konstituante (dewan pembentuk undang-undang dasar) berhari-hari dihangatkan dengan pertentangan pendapat, memilih falsafah Pancasila atau falsafah Pancasila yang bernuansa keagamaan. Sebuah pernyataan mengandung makna sudah final bahwa Pancasila untuk persatuan.
Di masa Presiden Soeharto Pancasila sebagai alat politik yang melayani penguasa. Pancasila dipolitisasi untuk memukul lawan politik dengan vonis “ tidak pancasilais “ atau “ anti pancasila.” Seakan Pancasila sebagai ideologi tertutup sebagai asas tunggal organisasi untuk membungkam kritik terhadap status quo. Pemerintah saat itu menjadikan Pancasila sebagai mesin indoktrinasi politik. Pancasila disanjung-sanjung dalam bentuk peringatan hari lahirnya Pancasila (1 Juni ) dan hari Kesaktian Pancasila ( 1 Oktober ) yang bersifat seremonial. Kesaktian ideologis lebih ditonjolkan bukan kesaktian sosial. Dalam tataran pengetahuan kognitif penataran P4 ( Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila ) dengan berbagai pola menjadi andalan untuk sosialisasi. Demikian juga dengan permainan simulasi P4 di tiap desa atau kelurahan menjadi sarana sosialisasi nilai-nilai luhur Pancasila dalam taraf pengetahuan. Secara kelembagaan pemerintah membentuk BP-7 ( Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila ) yang bertanggungjawab atas pelaksanaan sosialisasi ( baca: penataran ) P4. BP-7 dibentuk dengan surat Keputusan Presiden No.10 tahun 1979. Keputusan Presiden tersebut ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri, dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 239 tahun 1980, No. 163 tahun 1981, dan No. 86 tahun 1982.
Dalam perkembangan berikutnya pada masa euforia reformasi terjadi proses liberalisasi politik dengan ditandai penghapusan ketentuan oleh Presiden B.J Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi yang berakibat adanya keinginan dan peluang untuk menggunakan asas-asas ideologi yang lain, asal tidak bertentangan dengan Pancasila. Sehingga secara perlahan Pancasila terasa terabaikan. Terjadi juga pencabutan P4 dengan ditetapkannya Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998. Sebenarnya pada masa Presiden B.J Habibie sudah ada keinginan baik ( political will ) dalam membina kehidupan bernegara yaitu membentuk Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara dengan Keputusan Presiden No. 85 Tahun 1999, sebagai pengganti BP-7, sayang sampai sekarang ini tidak berfungsi dengan baik ( baca : tidak beroperasi ).
Kini, Pancasila mengalami kekosongan makna. Tidak hanya dihayati, dihafalkan pun tidak, apalagi dipraktikkan. Sebagai ilustrasi nyata pernah tergambar dalam tayangan infotainment Trans TV “John Pantau” Sabtu 17 Mei 2008 pukul 15.00 WIB, yang mengangkat tema Nasionalisme Menjelang Kebangkitan Nasional. John bertanya kepada beberapa unsur masyarakat dengan pertanyaan yang sama antara lain: apakah tahu Pancasila, salah satu sila dari Pancasila dan lambang dari sila-sila Pancasila.
John bertanya kepada seorang ibu petugas kebersihan jalan, apakah ibu tahu Pancasila, ibu itu berkata: tahu. Saat ditanya apa sila kedua Pancasila, ibu menjawab : Garuda Pancasila. John melanjutkan surveinya kepada polisi yang sedang berdinas di jalan, ternyata jawaban polisi tersebut juga salah. Fakta yang menjadi keprihatinan kita dari tayangan ” John Pantau ” adalah murid, guru, staf kementerian serta selebritis yang juga sebagai anggota DPR RI yang terhormat ada yang tidak hafal teks Pancasila, tidak hafal teks Proklamasi dan tidak hafal lagu Indonesia Raya. Sungguh ironis tapi itulah fakta yang dapat terekam. Bagaimana akan menghayati dan mempraktikkan kalau menghafal saja tidak mampu.
Menyaksikan situasi dan fakta yang ada di negeri ini saat ini, bisa jadi bapak-bapak bangsa seperti Soekarno, Moh.Yamin, Soepomo, HOS Cokroaminoto, Moh.Hatta dan masih banyak nama sebagai para pendiri bangsa ini. Terkhusus Moh.Yamin, Soepomo dan Soekarno yang mengajukan usulan dasar negara dalam sidang PPKI pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 tak sanggup membendung air mata duka. Budaya kekerasan dan intoleransi seakan merobek-robek rasa persatuan dan peri kebangsaan kita.Praktik korupsi hampir di seluruh bidang kehidupan seakan menjadi pukulan telak bagi nilai keadilan sosial. Warisan luhur bapak-bapak bangsa pada masa perjuangan dulu kurang dimaknai secara nyata saat ini.
Dalam situasi demikian, banyak kalangan merindukan hadirnya Pancasila sebagai dasar ideologi, pandangan hidup dan penentu arah ( leadstar ) bangsa yang mampu menciptakan suasana religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Hasil survei BPS ( Badan Pusat Statistik ) pada tahun 2011 menyatakan bahwa 79,26 persen masyarakat beranggapan Pancasila penting untuk dipertahankan. Selanjutnya apa yang harus kita lakukan ? Banyak lembaga telah melakukan survei untuk mengetahui pola dan metoda yang tepat dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila. Dari hasil berbagai survei dapat ditarik kesimpulan bahwa pemahaman nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan melalui pendidikan, contoh dan perbuatan nyata ( keteladanan ), penataran dan peran media massa.
Di masa Presiden Soeharto Pancasila sebagai alat politik yang melayani penguasa. Pancasila dipolitisasi untuk memukul lawan politik dengan vonis “ tidak pancasilais “ atau “ anti pancasila.” Seakan Pancasila sebagai ideologi tertutup sebagai asas tunggal organisasi untuk membungkam kritik terhadap status quo. Pemerintah saat itu menjadikan Pancasila sebagai mesin indoktrinasi politik. Pancasila disanjung-sanjung dalam bentuk peringatan hari lahirnya Pancasila (1 Juni ) dan hari Kesaktian Pancasila ( 1 Oktober ) yang bersifat seremonial. Kesaktian ideologis lebih ditonjolkan bukan kesaktian sosial. Dalam tataran pengetahuan kognitif penataran P4 ( Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila ) dengan berbagai pola menjadi andalan untuk sosialisasi. Demikian juga dengan permainan simulasi P4 di tiap desa atau kelurahan menjadi sarana sosialisasi nilai-nilai luhur Pancasila dalam taraf pengetahuan. Secara kelembagaan pemerintah membentuk BP-7 ( Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila ) yang bertanggungjawab atas pelaksanaan sosialisasi ( baca: penataran ) P4. BP-7 dibentuk dengan surat Keputusan Presiden No.10 tahun 1979. Keputusan Presiden tersebut ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri, dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 239 tahun 1980, No. 163 tahun 1981, dan No. 86 tahun 1982.
Dalam perkembangan berikutnya pada masa euforia reformasi terjadi proses liberalisasi politik dengan ditandai penghapusan ketentuan oleh Presiden B.J Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi yang berakibat adanya keinginan dan peluang untuk menggunakan asas-asas ideologi yang lain, asal tidak bertentangan dengan Pancasila. Sehingga secara perlahan Pancasila terasa terabaikan. Terjadi juga pencabutan P4 dengan ditetapkannya Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998. Sebenarnya pada masa Presiden B.J Habibie sudah ada keinginan baik ( political will ) dalam membina kehidupan bernegara yaitu membentuk Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara dengan Keputusan Presiden No. 85 Tahun 1999, sebagai pengganti BP-7, sayang sampai sekarang ini tidak berfungsi dengan baik ( baca : tidak beroperasi ).
Kini, Pancasila mengalami kekosongan makna. Tidak hanya dihayati, dihafalkan pun tidak, apalagi dipraktikkan. Sebagai ilustrasi nyata pernah tergambar dalam tayangan infotainment Trans TV “John Pantau” Sabtu 17 Mei 2008 pukul 15.00 WIB, yang mengangkat tema Nasionalisme Menjelang Kebangkitan Nasional. John bertanya kepada beberapa unsur masyarakat dengan pertanyaan yang sama antara lain: apakah tahu Pancasila, salah satu sila dari Pancasila dan lambang dari sila-sila Pancasila.
John bertanya kepada seorang ibu petugas kebersihan jalan, apakah ibu tahu Pancasila, ibu itu berkata: tahu. Saat ditanya apa sila kedua Pancasila, ibu menjawab : Garuda Pancasila. John melanjutkan surveinya kepada polisi yang sedang berdinas di jalan, ternyata jawaban polisi tersebut juga salah. Fakta yang menjadi keprihatinan kita dari tayangan ” John Pantau ” adalah murid, guru, staf kementerian serta selebritis yang juga sebagai anggota DPR RI yang terhormat ada yang tidak hafal teks Pancasila, tidak hafal teks Proklamasi dan tidak hafal lagu Indonesia Raya. Sungguh ironis tapi itulah fakta yang dapat terekam. Bagaimana akan menghayati dan mempraktikkan kalau menghafal saja tidak mampu.
Menyaksikan situasi dan fakta yang ada di negeri ini saat ini, bisa jadi bapak-bapak bangsa seperti Soekarno, Moh.Yamin, Soepomo, HOS Cokroaminoto, Moh.Hatta dan masih banyak nama sebagai para pendiri bangsa ini. Terkhusus Moh.Yamin, Soepomo dan Soekarno yang mengajukan usulan dasar negara dalam sidang PPKI pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 tak sanggup membendung air mata duka. Budaya kekerasan dan intoleransi seakan merobek-robek rasa persatuan dan peri kebangsaan kita.Praktik korupsi hampir di seluruh bidang kehidupan seakan menjadi pukulan telak bagi nilai keadilan sosial. Warisan luhur bapak-bapak bangsa pada masa perjuangan dulu kurang dimaknai secara nyata saat ini.
Dalam situasi demikian, banyak kalangan merindukan hadirnya Pancasila sebagai dasar ideologi, pandangan hidup dan penentu arah ( leadstar ) bangsa yang mampu menciptakan suasana religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Hasil survei BPS ( Badan Pusat Statistik ) pada tahun 2011 menyatakan bahwa 79,26 persen masyarakat beranggapan Pancasila penting untuk dipertahankan. Selanjutnya apa yang harus kita lakukan ? Banyak lembaga telah melakukan survei untuk mengetahui pola dan metoda yang tepat dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila. Dari hasil berbagai survei dapat ditarik kesimpulan bahwa pemahaman nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan melalui pendidikan, contoh dan perbuatan nyata ( keteladanan ), penataran dan peran media massa.
PENDIDIKAN
Lembaga pendidikan sebagai lembaga formal dari TK sampai Perguruan Tinggi selain melakukan transfer ilmu juga menanamkan sistem nilai, etika dan moral. Pancasila yang mengandung sistem nilai, etika dan moral juga dapat ditanamkan melalui pendidikan. Proses pembelajaran yang menghargai keragaman peserta didik baik secara fisik dan non fisik. Penggunakan metode pembelajaran yang disesuaikan dengan macam kecerdasan siswa dan menghargai hasil karya siswa sebagai wujud menghargai diversifiksasi siswa dan pemahaman nilai kemanusiaan. Kejujuran dalam proses penilaian peserta didik, bekerja dengan gembira dan tanggungjawab serta kerelaan dalam pendampingan siswa yang mengalami hambatan belajar. Proses ini dapat mewujudkan karakter manusia Indonesia yang suka bekerja keras, kreatif dan berpikir positif. Nilai kebangsaan dapat dilakukan pada waktu upacara bendera yaitu saat menghormati bendera Merah Putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya maupun sikap saat mengikuti upacara bendera. Saat pengembangan diri melalui ekstrakurikuler pramuka, peserta didik dilatih menerapkan dari isi Dasa Darma Pramuka. Sedangkan melalui ekstrakurikuler olah raga, peserta didik ditanamkan jiwa sportivitas saat bertanding tetap berjabat tangan dengan lawan meski mengalami kekalahan, kedisiplinan dan kerja sama tim. Semua itu merupakan nilai-nilai yang dapat dipahami,dihayati, dilatih oleh peserta didik dan dilaksanakan besok dalam kehidupannya.
KETELADANAN
KETELADANAN
Ada tiga lembaga sosial yang terlibat dalam penanaman nilai-nilai Pancasila yaitu lembaga keluarga, pendidikan dan masyarakat. Keluarga merupakan lembaga sosial terkecil yang pertama dan utama tempat penanaman nilai-nilai luhur, sikap, watak, kepribadian karakter karena ikatan keluarga berlangsung sepanjang hidup. Semua nilai yang diperoleh anak-anak melaui proses komunikasi verbal dan non verbal. Dalam komunikasi verbal orang tua memberitahu anak-anak berupa larangan, kewajiban, anjuran dan nasihat. Namun transfer nilai akan lebih tertanam bila orang tua atau anggota keluarga dewasa yang lain memberikan keteladanan dalam kehidupan sebagai komuniasi non verbal. Kebiasaan-kebiasaan kecil seperti duduk yang sopan, membuang sampah pada tempatnya, tidak memotong pembicaraan orang lain dan bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua. Pemahaman keragaman yang ada dimasyarakat baik dari segi suku, ras, agama dan budaya. Perlu penanaman sikap toleransi dimulai dari lingkungan terkecil misalnya ikut serta dalam gotong royong bersih desa, saling sapa dan berkunjung dengan warga sekitar dan memberi kesempatan warga lain untuk beribadah meski berbeda agamanya. Bila secara konsisten dilakukan akan mudah ditiru oleh anak-anak, yang semula berupa kebiasaan menjadi karakternya. Sehingga karakter bangsa akan terbentuk secara dengan sendirinya dan tetap berkembang.
Para pendidik diharapkan memberi keteladan baik dalam proses intrakurikuler maupun dalam ekstrakurikuler, dengan harapan para peserta didik dapat meniru dari keteladan yang dilakukan oleh para pendidik dan akhirnya dapat menjalankan nilai-nilai Pancasila. Lembaga terakhir yang terlibat dalam penanaman nilai-nilai Pancasila adalah masyarakat. Keteladanan tokoh masyarakat dan pejabat publik agar kita saling berinteraksi dan saling membutuhkan sebagai makhluk sosial. Keteladan di masyarakat dapat diawali dari hal paling sederhana sampai ke sesuatu yang kompleks. Suatu kebiasaan sederhana misalnya menggunakan jalur jalan yang sesuai, antre saat di SPBU tidak asal serobot merupakan contoh nyata agar kita tidak arogan terhadap sesama. Bekerja sesuai dengan jam kerja ( tidak korupsi waktu ), dan laporan keuangan sesuai dengan pengeluaran ( tidak korupsi materi ) dapat melatih nilai keadilan.
Keteladan pemimpin-pemimpin masyarakat maupun pemerintah sangat diharapkan dalam upaya menjaga tatanan nilai-nilai kebangsaan yaitu:
- Mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Seperti dalam butir-butir Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila ( P4 ) atau Eka Prasetya Panca Karsa
- Melaksanakan UUD 1945 sebagai landasan hukum untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
- Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) . Terutama penghormatan terhadap simbol-simbol kenegaraan misalnya bendera Merah Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
- Menerima semboyan bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika sebagai keniscayaan nyata dan mewujudkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
PENATARAN
Pelaksanaan penataran harus dengan metoda yang menarik tidak hanya ceramah satu arah saja. Pola penataran yang bermacam-macam pada masa lalu seperti 120 jam, 45 jam, 25 jam dapat dilanjutkan hanya harus dengan metoda yang menarik, inovatif dan kreatif. Misalkan dengan penggunaan teknologi informatika berupa penyajian film-film bertema religius, kemanusian, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Para penatar dapat menguduh dari sumber internet untuk pengembangan penyajian materi penataran. Kreatifitas para penatar akan memberi suasana menarik dan menyenangkan sehingga tidak merasa sedang mengikuti indoktrinasi massal. Keterlibatan nyata para peserta penataran dalam praktik nyata dan langsung baik di lingkungan keluarga, pendidikan maupun di masyarakat.
PERAN MEDIA MASSA
Media massa baik cetak maupun elektronik juga berperan dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Mimbar dialog yang disediakan oleh media massa dapat membangun masyarakat madani yang mementingkan dialog logis daripada arogansi yang mengedepankan otot ( kekuatan ). Kelompok masyarakat dengan berbagai latar belakangnya dapat mengkritisi Pancasila agar tetap relevan bagi berbagai persoalan kehidupan.
Media massa baik cetak maupun elektronik juga berperan dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Mimbar dialog yang disediakan oleh media massa dapat membangun masyarakat madani yang mementingkan dialog logis daripada arogansi yang mengedepankan otot ( kekuatan ). Kelompok masyarakat dengan berbagai latar belakangnya dapat mengkritisi Pancasila agar tetap relevan bagi berbagai persoalan kehidupan.
Selain memberi informasi realitas-realitas yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat media massa juga berperan dalam memberi pencerahan pemikiran kepada masyarakat.
Kata Sutan Syahrir dalam Renungan Indonesia, ”Aku cinta pada negeri ini, terutama barangkali karena aku selalu mengenal mereka sebagai pihak yang menderita, pihak yang kalah”. Kalau banyak tokoh di luar negeri memuji Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebuah model dan alternatif bagi dunia yang multikultural, maka jangan lelah mengamalkan Pancasila
G.HARDIYANTO
Guru SMP TARAKANITA SOLO BARU
Comments
-
there are no comments yet
Leave a comment